Hujan Rintik



Tulisan ini menceritakan sebuah kisah, pertemanan, perjalanan, tentang tawa, canda, marah, kesal, dan tentang rintik hujan.

Air sungai mengalir deras seperti biasa, rahmat Allah yang di salurkannya melalui gunung, dengan tegaknya berdiri namun rendah hati mengalirkan berkahnya, dari ujung yang tak terlihat mengalir hingga setapak yang kita injak.

Deras, sangat deras, andai insan tahu, jikalau air sudah berubah, melalui proses yang panjang itu ditambah buaian terik matahari, air berevaporasi tenang menjadi gumpalan gumpalan kapas raksasa di langit khatulistiwa.

Dulu mereka diinjak sekarang mereka memayungi, baik sekali air. Bahkan sekian lama rakyat bawah memintamu turun untuk membasahi sawahnya, engkau selalu memberikan yang terbaik di waktu yang tepat. Namun aku sedih disaat terakhirmu engkau hanya berikan rintik, menggoda nakal membasahi pipi berdebu ini.

Akankah ini tanda perpisahan?

Aku percaya engkau air hanya ingin kembali bercengkrama dengan rakyat bumi, setelah sekian lama terbang mendiami langit khatulistiwa, engkau kembali memberikan rahmat dengan aliran derasmu.
Selamat tinggal, aku yang masih berjuang di jamrud khatulistiwa ini, mencoba mencapai finish menyusul ketertinggalan ku yang telah didahului finish oleh abang dan kakakku.

Saya cukup puas telah di beri harapan sebuah keidealan, bukan idealnya orang namun idealnya sebuah harapan, hampir.

Sebuah cerita terucap fasih dibibirmu, bahwa sebelum mu, di ujung jamrud sana ada banyak korban termakan buasnya zaman, aku tidak takut, namun bagaimana dirimu?


Engkau tawarkan idealisme mu di saat kampus namun akankah kau bawa saat diluar sana?

Dulu sebelummu banyak panutanmu sendiri yang menjadi korban, sekarang engkau yang buktikan, dan aku yang menyaksikan. Akan kah engkau mampu merelakan dirimu compang camping mempertahankan idealisme itu? atau engkau memilih menjualnya demi baju parlente tanpa gairah pengorbanan? atau engkau malah mengambil jalan baru demi menggaungkan idealisme untuk Indonesia lebih baik, kuharap engkau yang ketiga, berani menjunjung dan tidak takut kehinaan.

Walaupun engkau termakan yang pertama dan yang kedua, aku masih kokoh dan gagah berdiri menggenggam bara kekecewaan dan menopang beban perjuangan, karena jargonku, aku yang paling terakhir membela kebaikan.


Panjang umur kebaikan, panjang umur perjuangan, panjang umur kesucian.

Ambil sendiri batu bangunanmu, tanam sendiri padimu, ikuti para rasulmu, agar kau tak tersesat.
Berangkatlah dengan kebanggaan, bekali diri dengan kebaikan, dan pulanglah dengan ketenangan. Jangan galau jangan risau, kawan ada untuk merangkul, bangau indah karena bergerombol, angsa terbang jauh juga berkelompok dan elang mati karena kesombongannya.

Bahari sudah menunggu buaianmu, bumi sudah lama menanti sapaan mu, langit butuh kasih sayangmu dan dunia butuh kedamaianmu.



Kesahajaan ini bukan karena perjuanganmu dan prestasimu, namun karena kerendahan dan adab hatimu.


Rintik ini mengalir ringan di wajah ku, bukti aku tegar melepasmu. Junjung tinggi nilai-nilai luhurmu, aku yang disini mendoakan mu dan menunggu doa dari mu.

Ada jutaan rakyat yang butuh disejahterakan, anak-anak yang butuh pendidikan, buruh yang butuh pekerjaan, dan tanah air yang butuh penyembuhan.

Aku tak ingin melihat ibu pertiwi sakit melulu, aku ingin orang tuaku bangga karena perjuangan ku, bukan saja hasilku.

Medan laga ini aku susuri setapak demi-setapak, bersama mu, nasihatmu, panutan dan Allah rabb ku.
Keyakinanku ada hingga darah terakhir yang menetes dari tubuh tegar ini.

Rintik ini menemaniku membasuh tubuh ini diliang lahat paling bersahaja kelak.

1 komentar: